Minggu, September 28, 2025
BerandaSULAWESI UTARAMINAHASA UTARAWorkshop Budaya Gorontalo di Minut: Dari Ruang Nostalgia Menjadi Gerakan Kolektif

Workshop Budaya Gorontalo di Minut: Dari Ruang Nostalgia Menjadi Gerakan Kolektif

Berita-BMR.Com | Minut – Sebuah energi positif membuncah di Restoran Sweet Memory, Tontalete, Kecamatan Kema, Kamis (18/09/2025(), saat komunitas Gorontalo di Sulawesi Utara berkumpul dalam Workshop Semarak Budaya Gorontalo. Bukan sekadar forum diskusi, acara ini menjelma menjadi ruang hangat penuh kebersamaan, tempat memori budaya dihidupkan kembali dan semangat kolektif ditumbuhkan.

Digagas oleh H. Sarhan Antili, Ketua KKIG Minahasa Utara, workshop ini menjadi momentum penting untuk membangkitkan kesadaran akan kekuatan budaya Gorontalo—sekaligus mengukuhkan bahwa warisan leluhur bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk digerakkan bersama.

“Budaya harus jadi energi untuk maju bersama. Potensi warga Gorontalo di Minut sangat besar. Kalau kita kompak dan terorganisir, ini bisa jadi kekuatan luar biasa, bukan hanya untuk budaya, tapi juga untuk pembangunan daerah,” tegas Sarhan Antili dengan nada optimistis.

Acara ini menyedot perhatian tokoh-tokoh penting Gorontalo yang bermukim di Sulawesi Utara. Ada generasi muda, pemuka adat, hingga pejabat pusat yang hadir, termasuk Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hardian Irfani, yang hadir membawa dukungan langsung dari Kementerian Kebudayaan.

“Kami ingin memastikan sejarah dan budaya Gorontalo tidak pernah terhapus dari jejak perjalanan bangsa. Ini bukan sekadar kegiatan simbolis—ini adalah aksi nyata,” ujar Irfani, disambut tepuk tangan hangat para peserta.

Diskusi berlangsung hangat, dinamis, dan penuh semangat. Empat narasumber dengan latar belakang berbeda memberikan sudut pandang yang saling melengkapi.

Suardi Idun Hamzah, Sekretaris KKIG Sulut, membuka wawasan peserta dengan sejarah panjang migrasi warga Gorontalo ke Sulawesi Utara, khususnya Minahasa Utara. Menurutnya, perpindahan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga membawa warna budaya yang memperkaya tanah rantau.

H. Husen Pedju, Wakil Ketua KKIG Sulut, menambahkan: “Di tengah derasnya arus modernisasi, kita harus jadi penjaga peradaban sendiri. Jangan sampai budaya kita hilang karena kita lengah.”

Sementara itu, Arya Djafar, tokoh muda Gorontalo yang juga aktif di media digital, membawa perspektif kekinian. Ia mendorong agar budaya Gorontalo tidak hanya dilestarikan secara tradisional, tapi juga dikemas ulang melalui platform digital agar relevan di mata generasi milenial dan Gen Z.

“Kalau kita ingin budaya Gorontalo hidup lama, maka harus hidup juga di Instagram, TikTok, dan YouTube. Dunia digital itu panggung baru kita.”

Workshop ini tidak hanya menghasilkan diskusi, tapi juga merumuskan sejumlah gagasan penting. Di antaranya: pembentukan forum budaya lintas generasi, penguatan organisasi lokal, hingga pengembangan konten digital berbasis kearifan lokal. Suasananya jauh dari kaku—lebih mirip obrolan keluarga besar yang rindu kampung halaman dan ingin menjaga jati diri bersama.

Di penghujung acara, suasana makin syahdu saat Sanggar Budaya Kauditan II membawakan penampilan Qasidah dan Tari Dana-Dana dalam bahasa Gorontalo. Iringan musik tradisional, tarian, dan syair yang sarat makna menjelma jadi simbol kebanggaan, sekaligus penegasan: kita ada karena budaya.

Acara ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah—momen yang mempererat batin sesama warga Gorontalo di tanah rantau.

Workshop ini bukan titik akhir. Justru jadi start untuk gerakan budaya yang lebih masif. Dukungan pemerintah, komitmen tokoh lokal, dan kreativitas generasi muda menjadi fondasi kuat agar budaya Gorontalo tidak sekadar bertahan, tapi tumbuh, hidup, dan berkontribusi aktif dalam membentuk wajah Indonesia yang beragam.

Budaya bukan warisan mati—ia adalah napas yang menghidupkan identitas. Dan hari itu, di Tontalete, napas itu terasa begitu kuat.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular